MY LOVE IS JEFRY (PART 2)
MY LOVE IS JEFRY (PART 2)
– CERITA SEX GAY,,,,,,,,,
MY LOVE IS JEFRY
Part: 2
By: Az Marko
“Ini bukan tentang siapa yang kita cintai setengah mati, tapi tentang bagaimana kita mencintai orang yang mencintai kita setengah mati…”
**
Lelaki berkacamata besar itu baru saja memasukan bmw hitamnya kedalam garasi, sesekali ia masih mengucek mata sipitnya karena kurang tidur semalam, tapi demi dia ia rela bangun pagi-pagi hanya untuk mengantarkanya kerja, entah kenapa mengantar jemputnya ketempat kerja seperti Ritual wajib yang harus ia lakukan pagi dan sore hari, seperti ada sesuatu dalam hatinya yang mendorong untuk melakukan itu. Lebih tepatnya komitmen, Ya.. Adriyan akan tetap mengantar jemput anak lelaki yang bernama Arul itu jika ia tak ada urusan dalam pekerjaanya.
“Mau kemana pap?” sapa Adriyan berusaha ramah pada Erwin Wicaksono ayah kandungnya.
“Papi harus kerumah sakit lagi..” Jawab erwin sama sekali tak melirik kearah putranya, ia masih sibuk memasukan beberapa pakaian bayi kedalam sebuah tas.
“Papi baru pulang jam 5 tadi loh? Istirahat dulu lah. Lagian kan dirumah sakit banyak keluarga tante Aline yang menjaga daniel?”
Erwin terdiam ketika mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Adriyan, ia lalu membalikan tubuhnya memandang kearah adriyan.
“Tapi Papi ini adalah orang tuanya. Sudah seharusnya papi ada disana? Kapan kamu mau besuk adik kamu?”
“Nanti siang…”
“Yasudah papi tunggu kamu dirumah sakit..”
“Pap…” kata Adriyan yang masih belum beranjak dari posisinya berdiri.
“Ada apalagi?”
“Besok dateng kan, keacara opening Furlove cabang baru kita dikemang?”
“Adriyan.. Daniel sedang sakit, ayolah.. kamu bisa melakukanya tanpa papi”
“Pap.. Aku juga khawatir sama keadaan daniel, tapi papi gak bisa dong kayak gini. Daniel itu Cuma demam biasa. Adriyan malu, setiap kali teman teman papi itu nanyaiin alasan kenapa papi gak dateng, adriyan Cuma bisa diam. Papi udah sering kayak gini… Jangan Cuma buat tante Aline dan daniel papi mau stand bye 24 jam non stop.. Lagipula ini kan bisnis papi?”
“Papi usahakan yah..”
Adriyan menaiki anak tangga satu persatu tanpa melihat wajah sang Ayah. Dibukanya pintu kemar, setelah meninggalkan alas kakinya Adriyan membenamkan wajahnya diatas bantal dengan kedua tanganya yang terkepal penuh dengan rasa amarah. Hanya dia yang tau kenapa saat ini hatinya penuh dengan gemuruh emosi.
**
Dipesisir pantai disebuah perdesaan dikota badak bercula satu, pandeglang banten. Seorang lelaki masih berdiri tegap memandang kearah laut sana, merasakan dengan jeli bagaimana ketika suara ombak datang, atau meresapi setiap terpaan angin yang menerpa tubuhnya yang kekar. Bayang bayang empat tahun lalu kembali terngiang dalam hatinya, ia masih ingat betul bagaimana dulu ia sering mengunjungi pantai ini denganya, entah sekedar melihat matahari terbenam, atau hanya melihat ombak dan merasakan angin pantai, sama seperti yang saat ini ia lakukan. Sudah hampir sebulan ia kembali kekampung halaman, setelah empat tahun lamanya bekerja di kedai kopi dinergi jiran sana. Dulu kepulanganya keindonesia adalah hari yang sangat ia nanti nantikan selama disana, tapi sayang kembalinya kekampung halaman tak seindah apa yang ia harapkan.
“Bang Jefry….”
Lelaki berbadan kekar itu membalikan badanya kearah suara wanita yang baru saja memanggil namanya, dari jarak kaki kira-kira sepuluh langkah, Laila sudah berdiri disana. Tak sampai satu menit setelah Jefry membalikan badan, Laila langsung menghampirinya.
“Tau darimana lu gue disini?”
“Yaelah bang, Laila ini mantan istri abang, laila masih hafal kebiasaan kebiasaan abang”
“Mau ngapain lu kesini. Duit lagi?” Kata Jefry seakan sudah hafal kebiasaan Laila, ia sama sekali tak menatap kearah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu.
“Dimas demam..”
“Ya lu bawa ke puskemas beres kan?”
“Udah abang.. tapi demamnya gak turun turun. Mungkin harus dibawa kedokter”
“Puskesmas yang meriksa siapa? Dokter kan? Lagian tiga hari yang lalu duit sejuta dari gue lu kemanain hah? Lu kira gue balik dari malaysia bawa duit sekarung apa?”
“Abang kok ngomongnya gitu? Inget ya bang, dimas itu anak abang. Darah daging abang, duit yang kemarenn itu kan buat beli sepeda si dimas”
“Tapi gak nyampe sejuta kan?”
“ia ia.. sisanya laila pake bayar hutang”
“Yaudah itu urusan lu, kenapa lu gak minta sama si Aqso?”
“Bang Aqso ditasik.. udah seminggu gak pulang. Jadi gimana? abang mau ngasih gak buat bawa dimas kedokter?”
“Tar abis ashar lu kerumah…”
Jefry meninggalkan laila yang masih berdiri tanpa melihat wajahnya sama sekali, karena melihat wajahnya sama saja melihat kembali luka yang pernah diperbuat wanita bernama Siti Nurlaila itu. Sejurus kemudian Jefry sudah benar benar meninggalkan Laila dipesisir pantai dan hanya meninggalkan kumpalan asap hitam dari sepeda motornya.
**
Siangnya hanya rokok dan kopi yang jadi teman setia Jefry. Ia merasa terpuruk dengan kembalinya kekampung halaman, terkadang dibenaknya ada rasa sesal karena ia kembali ke pandeglang bahkan dihatinya yang lain berkata apakah ia harus kembali kemalaysia sana? Karena fikirnya untuk apa ia disini? Uang yang ia bawa dari sana juga pasti nantinya akan habis, saat ini Jefry seperti tak punya arah tujuan sedangkan penyemangatnya saja malah meninggalkanya, Jefry sebenarnya tau dimana saat ini Arul bekerja, ia mendapatkan informasi dari syabil teman sekolahnya dulu, tapi sayang. Nyalinya tak sebesar perawakanya ia merasa belum cukup nyali untuk menemui Arul. Padahal sewaktu di Malaysia dulu, sering dia diam-diam meneteskan air mata karena merasa tak tahan memendam kerinduan pada anak lelaki yang usianya terpaut cukup jauh dibawahnya.
“Jef.. Hei. Kok ngelamun” Suara Mala sang kakak yang baru saja pulang dari tangerang, Mas Rudi seuami mala masih sibuk menurunkan beberapa tas dari bagasi dibantu Mang Aksan sopir pribadinya. Seketika Jefry langsung berdiri mencium punggung tangan sang kakak.
“Ehh mbak? Kapan datangnya. Mbak kok siang banget pulangnya? Katanya pagi sudah sampai rumah?”
“ia.. tadi kejebak macet. Kamu siang siang gini malah ngelamun, sudah makan?” Tanya Mala pada adiknya, meski Jefry bukan lagi anak kecil hati nuraninya sebagai kakak tetap masih mengasihinya.
“Belum mbak..”
“Terus empat hari ini, selama mbak tinggal kamu makan apa?”
“Mie Instant….”
“Gak baik jef makan mie terus… mungkin sudah seharusnya kamu memikirkan masa depanmu jef.”
“Maksud mbak mala?”
“Ya maksud mbak cari istri buat pendaming kamu, ngurus kamu, masakin buat kamu. Lagian betah banget sih menduda”
“Haha mbak mala ini ada aja aja, emangnya cari istri gampang apa?”
“Loh.. kalo kamu mau mbak bisa carikan. Mbak yakin, Diluaran sana masih banyak wanita yang mau sama kamu jefry”
“Nanti deh mbak, Jefry pikir-pikir dulu”
“Mbak serius loh jef, kalo mau nanti mbak kenalin sama teman teman mbak..”
Jefry tak bersuara lagi, ia hanya tersenyum sendiri menertawakan dirinya sendirinya. Kopi hitam kembali ia seruput diringi dengan kumpalan asap yang menari nari diwajahnya.
**
Adriyan baru saja keluar dari ruangan dimana Daniel dirawat, walaupun daniel bukan adik kandungnya tapi ia sangat menyayangi bocah lelaki yang baru berusia tiga tahun itu. Beda dengan sebelum kelahiran daniel kedua ini, dulu ia sangat membenci Aline yang waktu itu tengah mengandung daniel, Adriyan memang tak pernah sedikitpun menganggap Aline sebagai seorang ibu, bagi adriyan ibunya hanya satu, ibunya adalah wanita yang mengandungnya, melahirkan dan membesarkanya bukan dia wanita yang baru beberapa tahun hadir dikehidupanya, Baginya Aline hanyalah istri ayahnya atau tak lebih seorang wanita yang mendampigi sang ayah yang kesepian.
Adriyan sudah duduk didalam mobilnya, tanganya sudah diatas stir tapi mobil itu belum melaju, masih terngiang dibenaknya suara daniel yang tadi menahanya untuk pulang, sebenarnya ingin rasanya ia lebih lama menemani daniel, tapi disana ada Aline dan keluarga besarnya, mereka adalah orang asing bagi adriyan, kecuali daniel dan erwin sang ayah. Sejurus kemudian Adriyan sudah berada di lobi Karin Love Publishing, sebuah percetakan indie yang dikelola oleh karin, sepupunya.
“Ini..” Suara karin sambil melempar setangkai bunga pada adriyan yang sedang duduk dilobi.
“Dia datang lagi?” kata Adriyan yang memang sudah hafal pada pemberi bunga itu. Karin mengangguk lalu duduk disamping adriyan.
“Mungkin sebentar lagi dia akan kembali untuk menemuimu?”
“Kamu bilang aku akan kemari?’
“Aku tak usah mengatakanya, karena nova sudah hafal kamu setiap sore akan kemari bukan? Menurutku semakin kamu menghindar, semakin nova akan berusaha untuk menemuimu. Jadi bicaralah sama dia”
“Memang sudah gila itu cewek” dengus Adriyan, tak lama kemudian benar saja yang dikatakan karin. Seorang wanita berambut lurus yang panjangnya sebahu dengan memakai kacamata hitam dengan pakaian yang elegent baru saja masuk kelobi. Gaya berjalan wanita itu sangat teratur dan berirama, Nova memang salah satu mantan peserta kontes model yang cukup terkenal. Namanaya sudah banyak menghiasi beberapa majalah, termasuk majalah yang diterbitkan di Karin Love Publishing, diluar sana banyak lelaki yang mulai dari tukang ojeg online sampai seorang direktur berlomba lomba mendapatkan cinta Nova. Tapi entahlah mereka hanya dianggap sebegai kutu kupret dimata Nova, baginya Adriyan Fawang Wicaksono lebih menarik dibanding para kutu kupret itu.
Karin bangkit dan hanya meninggalkan senyum ketika Nova sudah sampai didekat Adriyan, dibukanya kacamata hitam yang menutupi kedua mata indah nova, Adriyan sama sekali tak menghiraukanya meski sekarang Nova sudah duduk disampingnya.
“Kamu kemana sih yan? Kenapa akhir akhir ini menghindariku?” kata Nova sambil mengenggam tangan kiri adriyan, cepat cepat adriyan menarik tanganya agar tak bersentuhan dengan kulit nova.
“Gak usah basa basi va, gue udah muak! Apa sih yang lu inginkan?” Suara Adriyan terdengar dengan sedikit nada emosi, kali ini Adriyan memandang kearah nova meski tak menatap kedua bola matanya yang hitam bagai malam tanpa bintang.
“Yan, kenapa kamu masih nanya apa yang aku inginkan? Padahal kamu jelas jelas tau kan apa yang aku inginkan? Aku ingin kamu Adriyan. Aku kurang apa sih yang dimata kamu?”
“lu itu gila ya rin, kenapa lu masih mengejar ngejar lelaki yang sama sekali gak cinta sama lu. Padahal jelas jelas lu udah tau kalo gue ini….”
“Aku gak peduli yan? Aku gak pernah peduli apapun kekurangan kamu, termasuk jika kamu tak mencintai aku”
“Va… diluar sana banyak lelaki yang lebih baik dari gue, yang gak bajingan kayak gue. Dan yang penting mencintai lu. Lu itu cewek pintar, tapi kenapa jadi bodoh karena cinta sih?”
“Lalu lebih bodoh siapa dibandingkan kamu? Atau kita sama? Kamu sendiri gak malu mengejar ngejar dia? Orang yang sama sekali gak mencintai kamu? Bahkan mungkin keberadaan kamu sama sekali tak berarti baginya? Kita ini sama yan, Manusia yang tak dianggap oleh cinta. Kita sama sama punya kekurangan, kenapa kita gak coba untuk bersatu?”
Adriyan terdiam seketika setelah mendengar ucapan nova, Apa yang nova katakan memang benar, ucapanya seolah menyadarkan dia dari tidurnya yang panjang dan membawanya pada sebuah kenyataan. Kenyataan yang selama ini tertutupi oleh cinta yang buta.
**
Bukan hanya Adriyan yang masih terdiam, ditempat lain namun digedung yang sama Arul masih menunduk setelah Karin, Owner di tempatnya bekarja baru saja menamparnya dengan ucapan yang lagi lagi menyadarkan dan membawa pada sebuah kenyataan. Karin dan Arul memang seumuran, hanya berbeda jenis dan takdir hidup. Diusianya yang masih terbilang muda karin sudah berhasil memimpin sebuah perusahaan, sudah ratusan penghargaan yang ia raih atas prestasinya. Hampir semua majalah, dan buku yang dicetak diperusahaanya laris dipasaran. Karin memang seorang wanita cerdas sama seperti nova, hanya saja karin lebih logis dan realistis, ia tak akan membiarkan cinta mejajah kehidupanya apalagi membuat buta haluan hidupanya. Karin bukan seorang yang Anti cinta, sebaliknya ia malah mengagungkan cinta, baginya seperti itulah Tuhan menyayangi hambanya, yaitu dengan cinta. Karena itu juga karin tak pernah menganggap cinta itu hina, walau ditujukan pada orang yang salah.
Karin tak pernah mengadili nova yang mengejar ngejar Adriyan lelaki yang sama sekali tak mencintainya, termasuk mengadili Adriyan dan Arul yang mempunyai perasaan cinta yang berbeda pada sebagaian manusia, dan dikecam oleh beberapa manusia. Seperti itulah cinta, bagi karin cinta itu seperti udara yang bebas dihirup oleh siapapun, tapi jangan pernah sampai udara itu membuat kita buta karenanya.
“Aku sebanarnya gak pernah mau ikut campur urusan kalian rul? Kamu liat selama dua tahun kamu bekerja disini? Selama kita kenal? Apa aku pernah bicara seperti ini? Enggak kan rul. Arul.. kamu itu bukan hanya kariyawanku, sahabatku, kamu sudah seperti keluargaku sendiri. Dua tahun cukup bagiku mengenal karaktermu, aku juga tahu Adriyan seperti apa? Aku bukan memaksa. Bukan juga memihak Adriyan karena dia sepupuku. Tapi aku hanya ingin kamu lihat kenyataan bukankah lewat kenyataanlah kita saat ini hidup?”
Arul masih terdiam, sama sekali tak berani memandang wajah karin. Dikedua bola matanya ada permata kecil yang ia tahan agar tak terjatuh. Arul mengangkat wajahnya, memandang kearah langit langit mencari nafas segar untuk menjernihkan fikiranya.
“Rin.. kalo aku mampu untuk mencintai adriyan, kalo aku bisa, aku akan melakukanya dari dulu. Kamu kira aku gak tersiksa? Dua tahun rin, dua tahun mengisi hari dengan orang yang selalu ada dalam suka dan duka. Kamu kira itu mudah buat aku? Yang jelas jelas aku sendiri tau orang itu mencintai aku. Kamu boleh sebut aku seorang pecinta yang kejam, ya mungkin kenyataanya memang benar. Tapi yang perlu kamu tahu rin, cinta itu hadir bukan karena bagaimana kita sering bersama dalam suka dan duka, tapi cinta itu bagaimana ketika hati kita bicara dengan apa yang kita rasakan..”
“Tok.. tok.. rul” Seseorang mengetuk pintu, dan itu suara Adriyan. Degup jantung arul makin tak menentu, ia sangat takut jika sampai Adriyan mendengar apa yang baru saja ia katakan.
“Loh karin? Lagi pada ngapain sih?” Tanya Adriyan setelah membuka pintu ruangan Arul dan masuk kedalamnya. Ia memang sudah biasa masuk kedalam ruangan Arul tanpa harus arul mempersilahkan masuk atau tidak.
“Ohh gak papa yan.. ini aku baru saja ambil data dari arul. Kalau begitu aku siap siap untuk pulang yah” sahut karin menimpali pertanyaan adriyan, karin lalu keluar dari ruangan arul tanpa melihat kearah arul lagi. Sementara arul masih terdiam, mematung didepan meja kerjanya.
“Hei.. kenapa?” tanya adriyan santai, ia tahu ada sesuatu yang baru saja terjadi. Wajah arul terlihat begitu pucat.
“Ga papa kok..” Jawab arul, sambil berusaha melihatkan senyumnya dihadapan Adriyan.
“jangan bohong loh?”
“Bener gak ada apa apa? Gak pulang sama nova?”
Adriyan diam dan mengangkat satu alisnya.
“Tadi kata karin bukanya nova kesini kan?” Arul memperjelas kalimatnya.
“Ohh ia.. tapi udah aku suruh pulang. Siapa juga yang mau pulang bareng sama perempuan gila kayak dia”
“Kok gila sih. Bukanya nova itu cantik ya.. mantan model lagi”
“Udahlah.. ngapain malah bahas dia”
“Tapi satu lagi yang aku mau tanya, kenapa sih yan. Sama cewek secantik nova kamu ngomongnya kasar, lu gue. Tapi kalo sama aku, malah aku kamu”
“Mau lu gue juga?”
“Boleh.. kayaknya lucu. Haha”
Adriyan tak menjawab lagi, ia hanya mengacak ngacak rambutnya arul. Arul hanya tertawa cekikikan.
**
Dua bola matanya masih mengamati kedua orang pria yang baru saja masuk kedalam mobil. Kedua bola matanya masih merekam dengan jelas bagaimana raut wajah Arul yang selalu tersenyum saat bersama pria china itu. Ia merasa iri pada Adriyan, kenapa arul selalu bersikap ramah padanya, sedangkan pada dirinya sendiri? Arul selalu bersikap ketus dan tak peduli. Dalam hatinya Erfan terus bertanya, apakah ia salah jika ia ingin mengenal arul? Sesungguhnya Arul tak tau, bahwa sebenarnya Erfan hanya butuh teman bicara yang mendengar keluh kesahnya, yang mendengar jeritan hatinya. Erfan merasa Arul adalah orang yang tapat untuk mengadukan keluh kesahnya.
Langit diatas sana mulai terlihat gelap, sesekali suara petir terdengar. Erfan melajukan motor gedenya dengan cepat. Beberapa menit kemudian hujan turun dengan sangat derasnya membasahai tubuh cungkringnya yang terbungkus oleh jaket kulit. Ia sama sekali tak ada niat untuk berteduh sejenak melidungi tubuhnya dari tetesan hujan sore ini. Dengan sekali hentakan Erfan malah mempercepat motor gedenya.
Badanya basah kuyup. Helem dan jaket kulit itu rupanya tak mampu menjaga tubuh cungkringnya dengan baik. Dibukanya pintu rumah yang berada disebuah perumahan elit di Pondok indah. Hanya kosong yang Erfan lihat ketika pintu rumah sudah terbuka, bukan karena kosong dari benda benda mati. Perabot dirumah gedongnya sungguhlah amat banyak dan rata rata adalah barang import dari luar negeri, hanya saja ia merasa rumah gedong ini kosong dengan kehidupan.
Erfan langsung membersihkan tubuhnya dengan air hangat, tak ada suara kehidupan sama sekali selain suara nafasnya sendiri dan gemercik air hangat dari shower yang ada digenggamanya. Setelah mengenakan pakaian, dikungkunginya area dapur. Ia buka satu persatu lemari makanan, disana hanya ada masakan tadi pagi. Menu makanan itu sebetulnya sangat lezat, hanya saja rasanya mungkin hambar karena sudah terlalu lama didiamkan. Diambilnya sebuah mie instant, sudah biasa perutnya di isi oleh makanan instant. Sama dengan kehidupanya yang menurutnya serba instant. Erfan terlahir dari kedua orang tua yang cukup berada, Ibunya bekerja disalah satu kantor notaris di bekasi, sementara sang ayah adalah wakil ketua dari salah satu partai yang cukup terenal. Erfan adalah anak tunggal, sementara kedua orang tuanya fokus mencari uang dengan alasan untuk masa depanya. Omong kosong, kata Erfan dalam hatinya setiap mendengar kata kata itu terucap dari kedua orang tuanya. Beda dengan sang ayah, Leni ibunya. Ditengah kesibukanya bekerja di kantor notaris ia selalu sempatkan bangun pagi hanya untuk membuat makanan untuk anaknya, leni tak pernah mengiraukan cita rasa masakanya, entah masakanya itu enak atau tidak, difikiranya yang penting menu yang ia masak adalah makanan makanan bergizi dan berprotein tinggi yang sangat bagus untuk pertumbuhan erfan.
Kedua orang tua erfan akan pulang kerumah sekitar jam sepuluh malam, dan saat itu erfan terkadang sudah lelap dalam tidurnya. Anak itu hanya bertemu dipagi hari dengan kedua orang tauanya. Dan yang akan menjadi bahasan adalah. “kamu perlu apa fan?” “Nilaimu gimana fan? Papah gak mau nilai kamu anjlok seperti kemaren” atau “Uang yang kemarin, mamah kasih masih ada kan? Kalo kurang, kamu bilang sama mamah yah”. Seperti itulah Leni dan Faris menghidupi anak semata wayangnya, mereka tak tau apa yang Erfan rasakan, mereka tak tau gejolak batin erfan seperti apa. Jika erfan sakit, solusi terbaiknya adalah dibawa kerumah sakit yang cukup mahal. Leni dan Faris lupa, jika sebenarnya yang erfan butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang, bukan kebutuhan dan keharusan dan sebuah tuntutan seperti yang mereka fikirkan.
“S i a l. mie-nya kematangan…” Kata Erfan dalam hatinya, ia merasa menyesal karena sudah melamuni kedua orang tuanya. Padahal belum tentu orang yang ia panggil papah mamah itu saat ini memikirkanya. Mie yang kematangan itu terlihat menggelikan, jangankan untuk memasukanya kedalam perut, melihatnya saja sudah membuat perut Erfan kesakitan. Tak ada cara lain, jika sudah seperti ini Bik Rumi lah yang jadi solusinya.
Dengan cepat Erfan sudah sampai dirumah Bik Rumi tetangganya, Rumah bik rumi berada dibelakang komplek rumah. Beda dengan jajaran rumah yang mendiami komplek elit itu, rumah bik rumi terbilang sederhana, Bik Rumi adalah seorang wanita tua berusia 59 Tahun. Ia hanya tinggal seorang diri karena tak memiliki keturunan, sedangkan suaminya. Bik rumi sendiri tak tahu apakah suaminya masih hidup atau telah mati, sudah dua puluh tahun lamanya sang suami menghilang tanpa kabar ketika memutuskan bekerja di riau. Dulu bik rumi adalah asisten rumah tangga dirumah erfan, masakanya luar biasa enaknya, bahkan menurut erfan masakan bik rumi tak kalah enak dengan masakan masakan diresto sana, tapi sudah empat bulan ini bik rumi tak bekerja dirumah erfan karena Leni, sang ibu memberhentikanya. Masalahnya simple, hanya karena bik rumi menggoreng ikan tapi lupa mencucinya. Sementara Leni adalah wanita yang menjungjung tinggi kebersihan makanan, maklum usia bik rumi sudah tua, ingatanya sudah mulai pikun, jadi bukan karena bik rumi adalah seorang yang tak pandai menjaga kebersihanya. Meskipun bik rumi sudah tak bekerja dirumah erfan, erfan masih sering mengunjungi rumah bik rumi, hanya satu tujuanya yaitu numpang makan. Erfan setiap minggu selalu memberikan uang secukupnya untuk bik rumi untuk kebutuhanya sehari hari, tentu saja tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
“Aduh.. den erfan? Maaf tadi bibi lagi dibelakang” kata wanita tua itu ketika baru saja membuka pintu rumahnya yang sama tuanya.
“Gak papa bik, masak apa bik?”
“Masak cumi asin kesukaan den erfan, sudah tiga hari ini bibik masak cumi terus tapi baru hari ini aden kesini”
“Maaf bi. Erfan kan sekarang sibuk prakerin bi?”
“Prakerin itu apa den?”
“Kayak belajar kerja diperusaahaan gitu bik”
“Wahh hebat atuh…”
“Enggaklah bik, masih hebatan bibik yang masakanya wenak”
Bik rumi tertawa mendengar ledekan anak lelaki yang sudah ia anggap seperti cucunya sendiri. Tak lama kemudian suara adzan magrib terdengar, bik rumi menawari erfan untuk sholat magrib berjamaah tapi erfan hanya terdiam dalam senyumnya. Bik rumi sudah tau jawabanya, ia mengambilkan makanan yang tadi sore ia masak dan langsung disuguhkan dihadapan erfan. Erfan langsung menyantap masakan itu dengan lahap, sementara bik rumi tengah khusyu bersujud kepada sang maha pencipta.
Next Part….
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,